Rabu, 28 Januari 2015

Buah Hatiku Menjadi Penyejuk Hatiku

AGAR BUAH HATI MENJADI PENYEJUK HATI

Oleh
Ustadz Abdullâh bin Taslîm al-Buthoni


Kehadiran sang buah hati dalam sebuah rumah tangga bisa diibaratkan seperti keberadaan bintang di malam hari yang merupakan hiasan bagi langit. Demikian pula arti keberadaan seorang anak bagi pasutri, sebagai perhiasan dalam kehidupan dunia. Ini berarti, kehidupan rumah tangga tanpa anak, akan terasa hampa dan suram.

Allah Azza wa Jalla berfirman :

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal dan shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk menjadi harapan." [al-Kahfi/18:46].

Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah Azza wa Jalla mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka… [at-Taghâbun/64:14]

Makna "Menjadi musuh bagimu" adalah melalaikan kamu dari melakukan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla.[1]

Ketika menafsirkan ayat di atas, Syaikh `Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah berkata: "…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Azza wa Jalla memperingatkan hamba-hamba-Nya agar jangan sampai kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Allah Azza wa Jalla memotivasi hamba-hamba-Nya untuk selalu melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…".[2]

Kewajiban Mendidik Anak
Agama Islam sangat menekankan kewajiban mendidik anak dengan pendidikan yang bersumber dari petunjuk Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. [at-Tahrîm/66:6]

Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata: "(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu".[3]

Syaikh `Abdurrahmân as-Sa'di berkata: "Memelihara diri dari api neraka adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya, serta bertaubat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak dari api neraka adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka syariat Islam, serta memaksa mereka untuk melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla. Maka seorang hamba tidak akan selamat dari siksaan neraka kecuali jika dia sungguh-sungguh melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla(dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawah kekuasaan dan tanggung jawabnya".[4]

Dalam sebuah hadits yang shahîh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang Hasan bin 'Ali Radhiyallahu anhuma memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan Radhiyallahu anhuma masih kecil, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Hekh…hekh" agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?".[5] Imam Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke masjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat bagi mereka, serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, yaitu melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama); meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat; agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut.[6]

Metode Pendidikan Anak Yang Benar
Agama Islam yang sempurna telah mengajarkan adab-adab yang mulia untuk tujuan penjagaan anak dari upaya setan yang ingin memalingkannya dari jalan yang lurus sejak dia dilahirkan ke dunia ini.

Dalam sebuah hadits qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman: "Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanîf (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam)".[7]

Dalam hadits shahîh lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan".[8]

Perhatikanlah hadits yang agung ini, bagaimana setan berupaya keras memalingkan manusia dari jalan Allah Azza wa Jalla sejak mereka dilahirkan ke dunia, Padahal bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia dan godaan-godaan duniawi lainnya; maka bagaimana keadaannya jikalau dia telah mengenal semua godaan tersebut? [9]

Maka di sini terlihat jelas fungsi utama syariat Islam dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjaga anak yang baru lahir dari godaan setan, melalui adab-adab yang diajarkan dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berhubungan dengan kelahiran seorang anak.[10]

Sebagai contoh misalnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan bagi seorang suami yang akan menggauli istrinya untuk membaca doa:

بِسْمِ اللهِ اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

"Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki[11] yang Engkau anugerahkan kepada kami".

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Jika seorang suami yang ingin menggauli istrinya membaca doa tersebut, kemudian Allah Azza wa Jalla menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya".[12]

Dengan demikian, jelaslah bahwa syariat Islam merupakan satu-satunya metode yang benar dalam pendidikan anak, yang berarti bahwa hanya dengan menerapkan syariat Islamlah pendidikan dan pembinaan anak akan membuahkan hasil yang baik.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn berkata: "Yang menentukan keberhasilan pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah Azza wa Jalla. Jika seorang hamba bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla serta (berusaha) menempuh metode yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah Azza wa Jalla akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah Azza wa Jalla berfirman:

ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya" [ath-Thalâq/65:4].[13]

Pembinaan Rohani Dan Jasmani
Cinta sejati kepada anak tidaklah dapat diwujudkan hanya dengan mencukupi kebutuhan duniawi saja. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber pada petunjuk al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.

Allah Azza wa Jalla memuji Nabi-Nya Ya'qûb Alaihissallam yang sangat mengutamakan pembinaan iman bagi anak-anaknya. Sampai saat-saat terakhir hidup beliau, nasehat berikut inilah yang beliau tekankan kepada mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Adakah kamu hadir ketika Ya'kûb kedatangan (tanda-tanda) kematian, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab, "Kami akan menyembah Rabb-mu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrâhîm, Ismâ'îl, dan Ishâq, (yaitu) Rabb yang Maha Esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya [al-Baqarah/2:133]

Renungkanlah teladan agung dari Nabi Allah yang mulia ini, bagaimana beliau menyampaikan nasehat terakhir kepada anak-anaknya untuk berpegang teguh dengan agama Allah Azza wa Jalla[14] , yang landasannya adalah ibadah kepada Allah Azza wa Jalla semata-semata (tauhid) dan menjauhi perbuatan syirik (menyekutukan-Nya dengan makhluk). Di mana kebanyakan orang masa kini justru memberikan perhatian utama kepada kebutuhan duniawi semata-mata. Apa yang kamu makan sepeninggalku nanti? Bagaimana kamu mencukupi kebutuhan hidupmu? Dari mana kamu akan mendapat penghasilan yang cukup? dan seterusnya.

Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Luqmân berkata kepada anaknya, ia memberi nasehat kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar" [Luqmân/31:13]

Lihatlah bagaimana hamba Allah Azza wa Jalla yang shaleh ini memberikan nasehat kepada buah hati yang paling dicintai dan disayanginya. Oleh karena itulah, nasehat yang pertama kali disampaikan untuk buah hatinya ini adalah perintah untuk menyembah (mentauhidkan Allah Azza wa Jalla) semata-mata dan menjauhi perbuatan syirik.[15]

Manfaat Dan Pentingnya Pendidikan Anak
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah – semoga Allah Azza wa Jalla merahmatinya – berkata: "Salah seorang Ulama berkata: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat nanti akan meminta pertanggungjawaban dari orang tua tentang anaknya sebelum meminta pertanggungjawaban dari anak tentang orang tuanya. Karena sebagaimana orang tua mempunyai hak (yang harus dipenuhi) anaknya, (demikian pula) anak mempunyai hak (yang harus dipenuhi) orang tuanya. Maka sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا

Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya [al-'Ankabût/29:8]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu" [at-Tahrîm/66:6]

Maka, barangsiapa yang tidak mendidik anaknya dengan pendidikan yang bermanfaat baginya dan membiarkannya tanpa bimbingan, maka sungguh dia telah melakukan keburukan yang besar kepada anaknya. Mayoritas kerusakan moral pada anak-anak justru timbul karena kesalahan orang tuanya sendiri, yaitu karena mereka tidak memberikan pengarahan dan pengajaran kepada anak-anak mereka tentang kewajiban-kewajiban serta anjuran-anjuran dalam agama. Sehingga, akibat mereka tidak memperhatikan pendidikan anak-anak mereka sewaktu kecil, maka anak-anak itu tidak bisa melakukan kebaikan untuk dirinya sendiri. Pada akhirnya anak-anak itu pun tidak bisa melakukan kebaikan untuk orang tuanya ketika telah lanjut usia. Hal itu sebagaimana yang terjadi, ketika salah seorang ayah mencela anaknya yang durhaka kepadanya; maka anak itu menjawab: "Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah berbuat durhaka kepadaku (tidak mendidikku) sewaktu aku kecil, maka akupun mendurhakaimu setelah engkau tua. Karena engkau menyia-nyiakanku di waktu kecil, maka akupun menyia-nyiakanmu di waktu engkau tua".[16]

Cukuplah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mendidik anak:

إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ: أَنَّى هَذَا ؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya: “Bagaimana aku bisa mencapai semua ini?” Maka dikatakan padanya: “(Ini semua) disebabkan istigfâr (permohonan ampun kepada Allah Azza wa Jalla yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu”".[17]

Sebagian para Ulama menerangkan makna hadits ini yaitu bahwa jika seorang anak menempati kedudukan yang lebih tinggi dari pada kedudukan ayahnya di surga (nanti), maka dia akan memohon (berdoa) kepada Allah Azza wa Jalla agar kedudukan ayahnya ditinggikan (seperti kedudukannya); sehingga Allah Azza wa Jallapun meninggikan (kedudukan) ayahnya.[18]

Dalam hadits shahîh lainnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Jika seorang manusia mati maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali dari tiga perkara yaitu sedekah yang terus mengalir (pahalanya karena diwakafkan), ilmu yang terus diambil manfaatnya (diamalkan sepeninggalnya), dan anak shaleh yang selalu mendoakannya”.[19]

Hadits ini menunjukkan bahwa pahala semua amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh akan sampai kepada orang tuanya secara otomatis dan tanpa perlu diniatkan; karena anak termasuk bagian dari usaha orang tuanya.[20] Adapun penyebutan "doa" dalam hadits tidaklah menunjukkan pembatasan bahwa hanya doa yang akan sampai kepada orangtuanya [21] , tapi tujuannya adalah untuk memotivasi anak yang shaleh agar selalu mendoakan orang tuanya.[22]

Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni – semoga Allah Azza wa Jalla merahmatinya – berkata: "(Semua pahala) amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh, juga akan diperuntukkan bagi kedua orang tuanya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala anak tersebut, karena anak adalah bagian dari usaha dan upaya kedua orang tuanya.”

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَ

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya" [an-Najm/53:39]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sungguh sebaik-baik (rezki) yang dimakan oleh seorang manusia adalah dari usahanya sendiri, dan sungguh anaknya termasuk (bagian) dari usahanya"[23].

Kandungan ayat dan hadits di atas juga disebutkan dalam hadits-hadist (lain) yang secara khusus menunjukkan sampainya manfaat (pahala) amal kebaikan (yang dilakukan) oleh anak yang shaleh kepada orang tuanya, seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak dan yang semisalnya…".[24]

Penutup
Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kita untuk lebih memperhatikan pendidikan anak kita, utamanya pendidikan agama mereka; karena pada gilirannya semua itu manfaatnya untuk kebaikan diri kita sendiri di dunia dan akhirat nanti.

Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.

وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr 4/482
[2]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 637
[3]. Diriwayatkan oleh al-Hâkim dalam Al-Mustadrak 2/535, dishahîhkan oleh al-Hâkim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[4]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 640
[5]. HSR al-Bukhâri (no. 1420) dan Muslim no. 1069
[6]. Fathul Bâri 3/355
[7]. HSR Muslim no. 2865
[8]. HSR Muslim no. 2367
[9]. Lihat kitab Ahkâmul Maulûd Fis Sunnatil Muthahharah hlm. 23
[10]. Ibid hlm. 24
[11]. Termasuk anak dan yang lainnya, lihat kitab Faidhul Qadîr 5/306
[12]. HSR al-Bukhâri no. 6025 dan Muslim no. 1434
[13]. Kutubu wa Rasâ-ilu Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn 4/14
[14]. Lihat keterangan Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri 6/414
[15]. Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr 3/586
[16]. Tuhfatul Maudûd hlm. 229
[17]. HR Ibnu Majah no. 3660, Ahmad 2/509 dan lain-lain, dishahîhkan oleh al-Bûshiri dan dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilatul Ahâditsish Shahîhah no. 1598. Ketika mengomentari hadits ini al-Munâwi dalam Faidhul Qadîr 2/339 berkata: "Seandainya tidak ada keutamaan menikah kecuali hadits ini saja maka cukuplah (menunjukkan besarnya keutamaannya)."
[18]. Lihat kitab Faidhul Qadîr 2/339
[19]. HSR Muslim no. 1631
[20]. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang akan kami sebutkan nanti.
[21]. Dalam hadits ini Rasulullah n tidak mengatakan: "Doa anak yang shaleh", tapi yang beliau n mengatakan: "… anak shaleh yang selalu mendoakannya", artinya: semua amal kebaikan anak yang shaleh pahalanya akan sampai kepada orang tuanya.
[22]. Lihat kitab Ahakâmul Janâiz hlm. 223
[23]. HR Abu Dâwud no. 3528, an-Nasâ'i no. 4451, at-Tirmidzi 2/287 dan Ibnu Mâjah (no. 2137), dihasankan oleh Imam at-Tirmidzi dan dinyatakan shahîh oleh Syaikh al-Albâni.
[24]. Kitab Ahakâmul Janâiz hlm. 216-217

Rabu, 21 Januari 2015

PERINGATAN HARI KELAHIRAN BUAH HATI DAN MENGHADIAHKAN UANG SAAT KELAHIRAN

PERINGATAN HARI KELAHIRAN (ULANG TAHUN)

Oleh
Syaikh Abdul Aiz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aiz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum perayaan setelah setahun atau dua tahun atau lebih umpamanya, atau kurang, sejak kelahiran seseorang, yaitu yang disebut dengan istilah ulang tahun atau tolak bala. Dan apa hukum menghadiri pesta perayaan-perayaan tersebut. Jika seseorang diundang menghadirinya, apakah wajib memenuhinya atau tidak? Kami mohon jawabannya, semoga Allah membalas Syaikh dengan balasan pahala.

Jawaban:
Dalil-dalil syari'at dari Al-Kitab dan As-Sunnah telah menunjukkan bahwa peringatan hari kelahiran termasuk bid'ah yang diada-adakan dalam agama dan tidak ada asalnya dalam syari'at yang suci, maka tidak boleh memenuhi undangannya karena hal itu merupakan pengukuhan terhadap bid'ah dan mendorong pelaksanaannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah." [Asy-Syura: 21]

Dalam ayat lain disebutkan,

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ﴿١٨﴾إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ۚ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۖ وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ

"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari'at (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertaqwa." [Al-Jatsiyah: 18-19]

Dalam ayat lainnya lagi disebutkan,

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)." [Al-A'raf : 3]

Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ

"Barang siapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak." [1]

Dalam hadits lainnya beliau bersabda,

خَيْرُ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللَّه وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad Saw, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat." [2]

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna.

Di samping perayaan-perayaan ini termasuk bid'ah yang tidak ada asalnya dalam syari'at, juga mengandung tasyabbuh (menyerupai) kaum Yahudi dan Nashrani yang biasa menyelenggarakan peringatan hari kelahiran, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan agar tidak meniru dan mengikuti cara mereka, sebagaimana sabda beliau,

لَتَتَّبِعَنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُم شِبْرًا شِبْرًاوَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْدَخَلُوْا جُحْرَضُبٍّ تَبَعْتُمُوْهُم، قُلنَا يَا رَسُوْلَ اللَّهِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

"Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal dengan sejengkal dan sehasta dengan sehasta, sampai-sampai, seandainya mereka masuk ke dalam sarang biaivak pun kalian mengikuti mereka." Kami katakan, "Ya Rasulullah, itu kaum Yahudi dan Nashrani?" Beliau berkata, "Siapa lagi." [3]

Makna 'siapa lagi' artinya mereka itulah yang dimaksud dalam perkataan ini. Kemudian dari itu, dalam hadits lain beliau bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم

"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan mereka” [4]

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna.

Semoga Allah menunjukkan kita semua kepada yang diridhai-Nya.

[Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutannawwi’ah, juz 4, hal. 283]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
_______
Footnote
[1]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718). Al-Bukhari menganggapnya mu'allaq dalam Al-Buyu' dan Al-I'tisham.
[2]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Al-Jumu’ah (867).
[3]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim: Al-Bukhari dalam Ahaditsul Anbiya' (3456). Muslim dalam Al-‘Ilm (2669).
[4]. Ahmad (5094, 5634). Abu Dawud (4031).


MENGHADIAHKAN UANG SAAT KELAHIRAN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana menurut syariat mengenai kebiasaan sebagian wanita zaman sekarang, yang mana apabila salah seorang teman mereka dianugrahi anak, mereka memberikan kado berupa uang yang jumlahnya cukup besar dan terkadang memberatkan suami dan kesulitan lainnya. Apakah ini ada dasarnya dalam syari’at?

Jawaban
Pada dasarnya memberikan hadiah untuk kelahiran bayi tidak apa-apa, karena hukum asalnya dibolehkan memberikan hadiah untuk semua kondisi yang halal dan benar kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Jika tradisi yang berlaku, bahwa jika seseorang melahirkan bayi maka kerabatnya memberikan hadiah berupa uang, maka hal ini tidak apa-apa dilakukan, karena mengikuti kebiasaan dan tradisi, bukan sebagai ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Memang saya tidak mengetahui bahwa hal itu dianjurkan oleh As-Sunnah, tapi hanya merupakan kebiasaan sebagian orang zaman sekarang yang sudah mentradisi, hanya saja, jika kebiasaan ini menimbulkan madharat pada seseorang, maka ia tidak harus melaksanakannya.

Jika kebiasaan ini memberatkan suami, sebagaimana disebutkan oleh penanya, yang mana si isteri memaksa suaminya agar memberinya uang yang sebenarnya memberatkannya untuk dihadiahkan kepada orang yang baru melahirkan, maka hal itu terlarang karena menyakiti suami dan memberatkan suami dan menyulitkannya.

Adapun kebiasaan saling memberikan hadiah sederhana sekadar untuk mengungkapkan rasa saling mencintai dan mengasihi, maka hal itu tidak ap-apa.

[Nur’ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 34-35]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]

AJARI ANAK KITA BERDOA

AJARI ANAK KITA BERDOA

Oleh
Ustadz Rizal Yuliar, Lc



MENJAGA ANAK, PERAN WAJIB ORANG TUA
Anak adalah amanat yang Allah Azza wa Jalla titipkan kepada orang tua. Amanat itu wajib dijaga dan dirawat sebaik-baiknya. Allah Azza wa Jalla akan meminta pertanggungjawabannya di hari Kiamat kelak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sungguh setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan mempertanggungjawabkannya, seorang lelaki adalah penjaga bagi anggota keluarganya dan dia akan diminta pertanggungjawabannya…". [1]

Dalam riwayat lain, beliau n bersabda:

إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَأهُ أَحَفِظَهَ أَمْ ضَيَّعَهُ؟ حَتَّى يَسْأَلَ الرّجُلَ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ

Sungguh Allah akan meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin atas setiap hal yang ia emban, apakah telah memeliharanya (dengan baik) atau (justru) menyia-nyiakannya? Termasuk menanyakan kepada seseorang (ayah) tentang keluarganya".[2]

Seorang anak berhak mendapatkan tarbiyah Islamiyah (pembinaan secara Islami) terbaik dari kedua orang tuanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ لِوَلَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

Dan sungguh, anakmu memiliki hak (yang menjadi kewajiban) atas dirimu[3]

Hak yang disampaikan dalam hadits tersebut selain mencakup pemenuhan kebutuhan fisik, juga menyangkut hak untuk diajari, dibimbing, diarahkan, diluruskan dan demikian seterusnya agar menjadi anak shalih. Maka seyogyanya kedua orang tua, pihak yang paling dekat dengan anak, menjadi teladan nyata bagi anak semenjak kecil. Hendaklah keduanya menanamkan cinta kepada Allah Azza wa Jalla , cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , menyampaikan keindahan Islam dan tuntunan syariatnya kepadanya, membimbing mereka dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , menumbuhkan kesadaran beribadah serta berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla. Hamba-hamba Allah Azza wa Jalla yang beriman senantiasa berdoa:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Ya Allah, karuniakanlah kami isteri-isteri dan anak keturunan yang (dapat) menjadi penyejuk pandangan. Serta jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa [al-Furqan/25:74]

Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma menjelaskan makna doa dalam ayat ini dengan bertutur, “Yaitu isteri dan anak yang melakukan ketaatan kepada-Mu ya Allah, sehingga pandangan kami akan menjadi sejuk dengan (kebaikan) mereka di dunia dan akherat kelak”.[4]

Syaikh as-Sa`di rahimahullah berkata, “Ini adalah doa untuk kebaikan isteri dan anak agar mereka menjadi shaleh. Dan doa ini mendatangkan manfaat besar bagi mereka yang memanjatkannya. Karenanya (dalam doa tersebut) mereka memohon sambil mengatakan "Ya Allah…karuniakanlah kepada kami…". Kebaikan doa ini akan (berdampak positif) dan bermanfaat bagi kaum Muslimin secara umum mengingat bahwa kebaikan para isteri dan anak dapat menjadi faktor penyebab kebaikan orang-orang yang berinteraksi dengan mereka".[5]

BIMBINGAN SEMENJAK DINI AGAR SI KECIL DEKAT DENGAN ALLAH AZZA WA JALLA
Menanamkan dan membimbing kebaikan bagi si buah hati semenjak ia masih kecil adalah perkara yang indah. Dengan itu, ia akan mengawali catatan pada lembaran putih kehidupannya dengan kedekatan kepada Allah Azza wa Jalla. Bimbingan yang dilakukan harus ditempuh secara bertahap, dimulai dari pengenalan adab-adab (ajaran-ajaran Islam) yang mendasar namun memiliki pengaruh besar yang begitu mendalam seperti yang tertuang dalam hadits berikut:

مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْناَءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَْبْناَءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقوُاْ بَيْنَهُمْ فِيْ الْمَضَاجِعِ

Perintahkanlah anak kalian untuk shalat ketika mereka mencapai umur tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat setelah mencapai sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka [6]

Selain membimbing anak-anak pada masalah yang besar (seperti shalat) karena berhubungan dengan rukun Islam, termasuk perkara yang penting juga adalah membimbing anak-anak dalam masalah yang terkadang dianggap remeh oleh sebagian orang. Perhatikan kisah berikut ini:

Abu Burdah bercerita, “Aku mengunjungi Abu Musa al-Asy`ari ketika beliau berada di rumah puteri al-Fadhl bin `Abbâs Radhiyallahu ahuma (Ummu Kultsum Radhiyallahu anhuma adalah isteri Abu Musa). Abu Burdah berkata, “Aku bersin, namun Abu Musa tidak mengucapkan tasymît[7] bagiku. Sementara itu, ketika Ummu Kultsum bersin, maka beliau (Abu Musa) membacakan tasymît baginya. Lantas aku pulang kemudian mengadukannya kepada ibuku. Dan saat Abu Musa mengunjungi ibuku, maka ibuku mempertanyakan hal tersebut. Abu Musa menjawab, “Sungguh puteramu tadi bersin, akan tetapi tidak mengucapkan alhamdulillâh, maka aku pun tidak membaca tasymît baginya. Adapun puteri al-Fadhl, ketika dia bersin dia mengucapkan alhamdulillâh, maka (segera) aku membacakan tasymît baginya. Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian bersin kemudian mengucapkan alhamdulillâh, maka bacakanlah baginya tasymît, namun apabila dia tidak mengucapkan alhamdulillâh, maka janganlah kalian membacakan baginya tasymît ".[8]

Silahkan cermati bentuk pembinaan yang indah ini. Seorang anak dididik untuk selalu mengingat Allah Azza wa Jalla , berdzikir dan saling mendoakan dalam berbagai kondisi sekalipun dia masih kecil. Contohlah pula keteladanan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam yang diabadikan dalam kitab suci al-Qur`ân. Pada saat beliau Alaihissallam mendampingi putranya Ismâ`îl Alaihissallam (dalam berdoa), maka keduanya berdoa kepada Allah Azza wa Jalla :

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Ya Allah, jadikanlah kami berdua dan anak keturunan kami berserah diri kepada-Mu. Tunjukkanlah kepada kami ibadah serta ampunilah kami, sungguh Engkau Maha memberi taubat lagi Maha Penyayang [al-Baqarah/2:128]

AJARKAN ANAK BERDOA KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA
Kita semua telah mengetahui banyak hal tentang keutamaan doa. Berdoa adalah ibadah yang paling mudah mengidentifikasikan penghambaan diri seorang manusia. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa doa adalah ibadah. Dan karena keagungan makna ibadah dalam berdoa sampai Allah Azza wa Jalla murka terhadap orang-orang yang meninggalkan ibadah agung ini. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Rabmu berkata, “Berdoalah kepada-Ku, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari berdoa kepada-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina. [Ghâfir/40:60]

Dengan demikian, maka diantara sekian banyak petunjuk Islam yang sepatutnya diajarkan oleh kedua orang tua kepada anaknya adalah penanaman pada diri mereka untuk selalu bertauhid, berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla , berdoa dan memohon hanya kepada Allah Azza wa Jalla dalam segala hal.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggariskan keteladanan yang baik saat beliau menanamkan kemuliaan doa pada diri kemenakannya, ‘Abdullah bin `Abbâs Radhiyallahu anhuma yang masih berusia belia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, "Wahai anak kecil, sungguh aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat; "Jagalah (hukum) Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Peliharalah (hak) Allah , maka engkau akan mendapatkan (pertolongan) Allah di hadapanmu. Jika engkau meminta (berdoa), maka memintalah hanya kepada Allah. Dan jika engkau mencari pertolongan, maka mintalah pertolongan dari Allah. Ketahuilah, sesungguhnya apabila semua manusia berkumpul untuk memberikanmu suatu manfaat, maka tidaklah hal itu terjadi melainkan apa yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan apabila mereka bersatu untuk mencelakakannmu dengan sesuatu, maka mereka tiada dapat melakukannya melainkan apa yang telah Allah tentukan untukmu. Pena telah terangkat dan lembaran (takdir) telah mengering [9]

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanamkan keagungan nilai tauhid kepada diri Ibnu `Abbâs c yang masih belia. Mengajarkannya untuk berdoa kepada Allah Azza wa Jalla dan meminta pertolongan hanya kepada-Nya, karena memang hanya Allah Azza wa Jalla semata Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Jika wasiat semacam ini diberikan oleh insan terbaik kepada seseorang yang termasuk generasi terbaik, sudah sepatutnyalah di zaman seperti sekarang ini, para orang tua lebih tertuntut memperhatikan prinsip-prinsip yang dapat menguatkan kedekatan putera-puteri mereka dengan Allah Azza wa Jalla . Bayangkanlah seandainya setiap kita (setiap orang tua) melakukan kepada anak kita sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kemenakannya.

Tidak kalah menarik, kisah percakapan yang terjadi antara seorang putera Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bernama ‘Abdurrahmân bin Abi Bakrah Radhiyallahu anhu dengan sang ayah, Abi Bakrah Radhiyallahu anhu. ‘Abdurahmân berkara kepada ayahnya:

“Wahai ayah, setiap hari aku mendengarmu melantunkan doa

اللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ دِيْنِيْ اللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ سَمْعِيْ اللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

(Ya Allah, selamatkanlah aku dalam agamaku, lindungilah aku dalam pendengaran dan penglihatanku, tiada ilâh yang berhak diibadahi selain Engkau)

dan ayah mengulanginya tiga kali pada waktu pagi dan petang. Demikian pula, setiap hari ayah membaca dan mengulanginya tiga kali di pagi dan petang (doa berikut)

اللَّهُمَّ إِنَّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقِْرِ اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kemiskinan. Aku berlindung kepada Engkau dari adzab kubur, tiada tuhan yang berhak untuk disembah selain Engkau)”.

Abu Bakrah Radhiyallahu anhu menjawab, "Ya, benar wahai anakku. Sungguh aku telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya, maka dengan suka-cita aku meneladani petunjuk beliau. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyampaikan doa bagi seseorang yang tengah dalam kesulitan besar (yang berbunyi):

اللَّهُمّ َرَحْمَتَكَ أَرْجُوْ فَلاَ تَكِلْنِيْ إِلىَ نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ لاَ إِلَهَ إلِاَّ أَنْتَ

(Ya Allah, kasih sayang-Mu yang aku harapkan, jangan Engkau lepaskan aku sekejap mata pun (bergantung) kepada diriku sendiri. Perbaikilah semua urusanku, (sungguh) tiada ilâh yang berhak untuk diibadahi selain Engkau) [10]

Demikianlah pembelajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat generasi Salaf kepada anak-anak mereka agar selalu dekat dengan Allah Azza wa Jalla , berdoa memohon kepada-Nya dan berharap untuk tidak dibiarkan oleh Allah Azza wa Jalla barang sekejap pun.

Kisah lain yang patut kita teladani adalah yang diriwayatkan dari Abu Na`âmah, dari Ibnu Sa`ad ia berkata, "Ayahku pernah mendengarku berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu Jannah, kenikmatannya, keelokannya, … dan seterusnya, … dan seterusnya. Aku berlindung kepada Engkau dari api neraka, rantai-rantainya, belenggu-belenggunya…. maka ayahku berkata, “Wahai anakku, aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada sekelompok manusia yang berlebihan dalam berdoa". Janganlah engkau menjadi bagian dari mereka. Apabila engkau diberikan Jannah, engkau akan mendapatkannya beserta seluruh kebaikan di dalamnya. Dan apabila engkau diselamatkan dari api neraka, maka engkau akan dilindungi dari apinya dan seluruh kejelekan di dalamnya".[11]

Seorang ulama Salaf berkata, “Aku pernah sakit keras, dan (saat) kondisiku semakin parah, ayahku berkata kepadaku, “Wahai anakku, perbanyaklah berdzikir (berdoa) kepada Allah”.

Cermatilah semua contoh bimbingan ini. Alangkah besar perhatian mereka dalam menguatkan hubungan anak-anak dengan Allah Azza wa Jalla .

DOA ANAK, INVESTASI JANGKA PANJANG
Perjalanan hidup umat Muhammad n tidaklah panjang. Semua akan berakhir dengan kematian. Berbahagialah orang tua yang berhasil mencetak generasi shalih dari anak keturunannya, yang taat kepada Allah Azza wa Jalla , yang mendoakan kebaikan bagi kedua orang tuanya, sekalipun mereka telah meninggal dunia. Sesungguhnya doa baik seorang anak bagi orang tuanya adalah investasi jangka panjang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَـطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفِعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ

Apabila seorang anak adam meninggal dunia, maka terputuslah semua (pahala) amalnya. Kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoa kebaikan untuknya". [HR. Muslim no. 4223]

Hadits ini menjelaskan bahwa anak shalih yang mendoakan kebaikan bagi kedua orang tuanya, maka berkah doa itu akan mengalir sekalipun keduanya telah meninggal dunia. Maka biar tidak sampai terlambat, marilah kita bersemangat menanamkan tauhid pada diri anak-anak kita, menguatkan hubungan dan ketergantungan mereka hanya kepada Allah Azza wa Jalla , mengajak mereka dalam berbagai ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dan mengajari mereka akan keagungan makna doa seorang Mukmin kepada Rabb-nya, karena Allah Azza wa Jalla mencintai hamba-hamba yang banyak berdoa kepada-Nya.

PELAJARAN HIKMAH YANG DAPAT DIPETIK
1. Anak adalah nikmat Allah Azza wa Jalla yang dititipkan sekaligus diujikan kepada setiap kedua orang tua. Menjaga anak adalah sebuah kewajiban yang tak terelakkan.

2. Setiap anak memiliki hak untuk dibimbing oleh kedua orang tuanya, agar mejadi anak yang shalih dan berbakti kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta kepada kedua orang tuanya.

3. Setiap orang tua pastilah mendambakan anak-anak yang shalih sebagai penghibur hati penyejuk pandangan, mendamaikan jiwa dan menentramkan pikiran. Maka hendaknya orang tua bersemangat menjadikan mereka anak-anak yang shalih.

4. Membimbing anak selayaknya dilakukan semenjak kecil sehingga ia akan tumbuh di atas kebaikan yang mengakar sampaipun kedua orang tuanya telah tiada.

5. Ajarkan anak untuk dekat dengan Allah Azza wa Jalla melalui berbagai ibadah, termasuk ibadah berdoa yang merupakah ibadah mulia.

6. Ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan praktek nyata generasi Salaf dalam mendidik anak pastilah cermin terbaik dan mendatangkan segala kebaikan.

7. Anak dapat menjadi investasi kebaikan jangka panjang di akherat, selama mereka terdidik untuk berbakti kepada kedua orang tua dan tertanam pada kalbu mereka akan pentingnya berdoa kepada Allah Azza wa Jalla dalam setiap keadaan.

8. Tidak ada terlambat untuk menanamkan kepada anak-anak kita berbagai kebaikan agar senantiasa dekat dengan Allah Azza wa Jalla dengan ibadah dan berdoa.

Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita semua berilmu, mengamalkan ilmu serta mengajak orang lain untuk mengamalkannya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. al-Bukhâri no: 893, Muslim no: 4724.
[2]. Hadits shahih. Lihat ash-Shahîhah no: 1636
[3]. HR. Muslim no: 2731.
[4]. Atsar ini terdapat dalam Tafsir at-Thabari (9/424)
[5]. Tafsir as-Sa’di hlm. 696
[6]. Shahîh Sunan Abu Daud no: 465, 466
[7]. Tasymît adalah ucapan yarhamukallâh yang berarti semoga Allah menyayangmu, diucapkan untuk mendoakan seseorang yang bersin dan mengucapkan alhamdulillâh
[8]. HR. Muslim no: 7488. Lihat Fiqhu Tarbiyatil Aulâd, Syaikh Mushtafa al-`Adawi, hlm. 103
[9]. Shahîh Sunan at-Tirmidzi no: 2043
[10]. Lihat Irwâ'ul Ghalîl no: 356-357
[11]. Shahîh Sunan Abi Dâwud no: 1313.
[12]. Kisah ini disebutkan oleh Imam adz-Dzahabi rahimahullah dalam Siyar A`lâm an-Nubalâ 13/688, ketika beliau memaparkan biografi dan keteladanan Muhammad bin ‘Utsman al-Qaumasani al-Hamadzani, yang juga dikenal dengan Ibnu Zirak

PENTINGNYA ORANG TUA MEMBERI PERHATIAN PENDIDIKAN PARA PEMUDA PEMUDI

PENTINGNYA MEMPERHATIKAN PENDIDIKAN PARA PEMUDA

Oleh
Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân.



Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Berpegang teguhlah dengan tali Allah. Ingatlah, kebahagiaan itu hanya bisa diraih dengan berpegang teguh dengannya. Bersyukurlah kepada Allah. Dengan bersyukur, niscaya kenikmatan itu akan senantiasa bertambah.

Masa muda merupakan masa keemasan, masa produktif. Masa yang paling gemilang untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya menuju akhirat. Sehingga Islam sangat memperhatikan kepada para pemuda. Demikian halnya dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau sangat memberikan perhatian kepada para pemuda. Di antaranya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ

Tujuh orang yang akan dilindungi oleh Allah pada hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya, (yaitu) pemimpin yang adil dan seorang pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah. [Muttafqun alaihi].

Tanggung jawab untuk terbentuknya pemuda-pemuda tangguh dan generasi yang taat, itu merupakan kewajiban dan tugas yang besar di pundak para orang tua, agar mendidik anak-anaknya semenjak dini dengan pendidikan yang benar, yaitu pendidikan yang diajarkan oleh Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Perintahkanlah anak-anak kalian agar menunaikan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka ketika telah berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidurnya. [HR Abu Dâwud].

Hadits ini, meskipun berhubungan dengan mendidik anak dalam masalah shalat, akan tetapi, sesungguhnya mencakup pendidikan lainnya dari syariat Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada Ibnu ‘Abbâs yang pada saat itu beliau masih kecil:

يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ

Wahai, anak kecil! Sesunguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat; jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu; jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapatkan Dia selalu di hadapanmu; apabila engkau minta, mintalah kepada Allah dan apabila engkau minta pertolongan, mintalah pertolongan kepada-Nya. [HR Tirmidzi].

Didiklah mereka dengan pendidikan Islam. Berilah para pemuda itu dengan pengarahan yang benar. Hendaklah orang tua menjadi teladan yang baik bagi anaknya, sehingga menjadikannya sebagai qudwah hasanah.

Salah satu wasilah yang sangat membantu dalam membentuk kepribadian anak, adalah dengan membersihkan rumah-rumah kita dari berbagai sarana yang dapat membawa kepada kerusakan, sehingga seorang anak akan selamat dari berbagai penyelewengan, akan selalu terjaga fithrahnya, dan menjadi anak shâlih yang akan memberikan manfaat bagi kedua orang tuanya; tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengumpulkannya bersama kedua orang tuanya di surga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apayang dikerjakannya. [ath-Thûr/52 ayat 21]

Untuk mencapai kemuliaan yang agung ini, tentu membutuhkan kesabaran, perjuangan, dan perhatian yang besar dari para orang tua. Terlebih lagi pada zaman sekarang ini, berbagai fasilitas tersedia dan sangat mudah membahayakan akhlak dan kepribadian seorang anak. Pemuda pada zaman ini, ia bagaikan seekor kambing yang berada dalam kerumunan serigala yang siap menyantapnya.

Dengan demikian, kita dapat memahami mengapa para salafush-shalih sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Mereka berusaha menjadikan anak-anaknya sebagai penghafal Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka menyerahkan pendidikan anak-anaknya kepada para pengajar yang amanah. Bahkan tidak sedikit harta yang mereka keluarkan. Masa dan waktu yang panjang mereka luangkan. Semua ini, mereka korbankan demi mengharapkan tercapainya cita-cita, yaitu memiliki generasi yang taat kepada Allah. Mereka tidak membiarkan waktu-waktu yang ada kosong begitu saja menghiasi anak-anaknya, karena waktu yang kosong dapat berbahaya bagi seorang pemuda. Oleh karena itu, seorang pemuda yang memiliki kekuatan dan keinginan, harus memanfaatkan waktunya dengan kesibukan. Jagalah waktu mereka dengan sebaik-baiknya. Demikian pula, jangan memberikan kepada mereka harta yang berlebihan, tetapi berikanlah sesuai dengan kebutuhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. [al-Furqân/25:67].

Adapun para guru atau para pendidik, sesungguhnya mereka memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar untuk mendidik anak-anak kaum muslimin. Menjadikan mereka generasi Rabbani; generasi yang selalu berjalan di atas ketentuan Allah dan Rasul-Nya, generasi yang meneruskan perjuangan para sahabat, generasi yang siap mengemban dakwah Islam. Ajarkanlah kalimat tauhid, ajarkanlah sunnah-sunnah Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ajarkanlah akhlak mulia. Itulah tugas seorang guru yang merupakan tugas yang agung dan amanah yang besar.

Ketahuilah, sesungguhnya para musuh selalu berusaha merusak kepribadian pemuda Islam. Mereka selalu membuat makar untuk menjerumuskan para pemuda ke jurang kebinasaan. Para musuh Islam menyediakan berbagai fasilitas yang dapat menjerumuskan kepada syahwat untuk merusak akhlak pemuda Islam, seperti obat-obat terlarang untuk merusak akal sekaligus badan, bahkan para musuh Islam menyusup melalui pendidikan dengan cara memasukkan pelajaran yang tidak sesuai dengan norma-norma Islam. Pelajaran yang mengandung kemaksiatan, bahkan kekufuran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tujuan utama para musuh itu ialah agar kaum muslimin berpaling dari ilmu Islam dan sibuk dengan ilmu-ilmu yang mereka inginkan. Itulah makar dan tipu daya musuh untuk menghancurkan kaum muslimin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ

Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Rabbmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar. [al-Baqarah/2 : 105].

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan kaum muslimin dari makar dan tipu daya orang kafir dengan firman-Nya,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُون

Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. [al-Anfâl/8 : 36].

Akan tetapi, sungguh musuh-musuh Islam itu akan terkalahkan. Tetapi kapankah mereka dapat dikalahkan? Jawabanya, yaitu jika kaum muslimin tetap konsisten dengan perintah dan larangan Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berusaha menerapkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kehidupan mereka, dan selalu berhati-hati dengan makar mereka.

Anak-anak kaum muslimin adalah tumpuan untuk masa yang akan datang. Merekalah yang akan membawa panji Islam. Semua itu akan terwujud, apabila pendidikan yang benar dimulai semenjak dini, dan yang paling berperan ialah orang tua dan guru. Sungguh, generasi yang shâlih akan mendatangkan manfaat, khususnya bagi kedua orang tuanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila salah seorang meninggal maka akan terputus semua amalannya, kecuali tiga perkara (yaitu) shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya. [HR Muslim].

Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam memegang amanah yang agung ini. jagalah anak-anak, para pemuda kita dari api neraka Jahannam.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [at-Tahrîm/66 : 6].

(Diringkas dari al-Khutab al-Mimbariyyah, karya Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

PENDIDIKAN BAGI ANAK ITU PERLU DAN PENTING

PENDIDIKAN ITU PENTING?

Oleh
Syaikh Shâlih bin Fauzan al-Fauzan


Islam, agama yang sempurna, sangat memperhatikan pertumbuhan generasi. Untuk itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita agar memilih istri shalihah, penuh kasih sayang dan banyak keturunannya. Dari istri-istri yang shalihah ini, diharapkan terlahir anak-anak yang shalih-shalihah, kokoh dalam beragama. Sehingga Islam menjadi kuat dan musuh merasa gentar. Demikianlah, ibu memiliki peran yang dominan dalam membangun pondasi dan mencetak generasi, karena dialah yang akan mendidik anak-anak dalam ketaatan dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Perhatian Islam lainnya yang terkait dan ikut berpengaruh dengan pendidikan anak, yaitu Rasulullah menganjurkan agar orang tua memberi nama yang baik terhadap anak-anaknya. Suatu nama akan turut memberi pengaruh pada anak. Sehingga banyak riwayat yang menjelaskan Rasululah merubah beberapa nama yang tidak sesuai dengan Islam.

Ketegasan Islam dalam mendidik ini, juga bisa dikaji dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa ketika anak menginjak usia tujuh tahun, hendaklah kedua orang tua mengajarkan dan memerintahkan anak-anaknya untuk melakukan shalat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah jika enggan melakukan shalat bila telah berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur di antara mereka. [HR Abu Dawud, dan dishahîhkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Dawud, no. 466]

Perintah mengajarkan shalat, berarti juga mencakup hal-hal berkaitan dengan shalat. Misalnya, tata cara shalat, thaharah, dan kewajiban shalat berjama'ah di masjid, sehingga anak bisa lebih dekat dan akrab dengan kaum Muslimin.

Adapun pukulan pada anak, Islam memperbolehkan para orang tua untuk memukul, jika anak malas dan enggan melakukan sholat. Tetapi hendaklah diperhatikan, pukulah tersebut dalam batas-batas tarbiyah (pendidikan), dengan syarat bukan pukulan yang membahayakan, dan bukan pula pukulan mainan, sehingga tidak ada pengaruh apapun. Di antara tujuannya, supaya anak merasakan hukuman bila ia melakukan kemaksiatan meninggalkan shalat.

Namun kita lihat pada masa ini, pukulan, sebagai salah satu wasilah dalam tarbiyyah, banyak ditinggalkan para orang tua. Dalih yang disampaikan, karena rasa sayang kepada anak. Padahal rasa sayang yang sebenarnya harus diwujudkan dengan diberi pendidikan. Dan salah satunya dengan dipukul saat anak melakukan perbuatan maksiat.

Rasulullah juga memerintahkan para orang tua supaya memisahkan tempat tidur anak-anak yang telah memasuki usia sepuluh tahun. Maksud pemisahan ini, ialah untuk menghindari fitnah syahwat.

Oleh karena itu, jika orang tua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anaknya saat mereka tidur, lalu bagaimana saat mereka keluar dari rumah dan bergaul dengan masyarakat? Maka tentu orang tua memiliki tanggung jawab yang lebih besar lagi. Orang tua harus senantiasa mengawasi anak-anaknya, menjauhkannya dari teman dan pergaulan yang buruk lagi menyesatkan. Karena tarbiyah tidak hanya ketika berada rumah saja, namun juga ketika anak-anak berada di luar rumah. Sebagai orang tua harus mengetahui tempat dan dengan siapa anak-anaknya bergaul. Ingatlah, orang tua adalah pemimpin, ia akan diminta tanggung jawabnya.

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang yang kalian pimpin. [Muttafaqun 'alaih].

Kebaikan anak menjadi penyebab kebaikan, khususnya bagi orang tua dan keluarganya, dan secara umum untuk kaum Muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amalannya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya [HR at-Tirmidzi].

Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan seorang anak dengan kebaikan dan ketaatannya, memiliki manfaat dan pengaruh yang besar bagi para orang tua baik, ketika masih hidup maupun sesudah meninggal dunia. Ketika orang tua masih hidup, sang anak akan menjadi hiburan, kebahagiaan dan qurrata-a'y‎un (penyejuk hati). Dan ketika orang tua sudah meninggal dunia, maka anak-anak yang shalih senantiasa akan mendoakan, beristighfar dan bersadaqah untuk orang tua mereka.

Sebaliknya, betapa malang orang tua yang anaknya tidak shalih dan ia durhaka. Anak yang durhaka tidak bisa memberi manfaat kepada orang tuanya, baik ketika masih hidup maupun saat sudah meninggal. Orang tua tidak akan bisa memetik buahnya, kecuali hanya kerugian dan keburukan. Keadaan seperti ini bisa terjadi jika para orang tua yang tidak memperhatikan pendidikan atau tarbiyyah anak-anaknya.

Salah satu contoh dalam tarbiyah yang benar, yaitu hendaklah para orang tua bersikap adil terhadap semua anak-anaknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita.

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ

Maka bertakwalah kalian semua kepada Allah dan berbuatlah adil kepada anak-anakmu. [HR Imam al-Bukhâri]

Pernah terjadi, ketika salah seorang sahabat memberi kepada sebagian anak-anaknya, kemudian ia menghadap kepada Rasulullah supaya beliau n bersedia menjadi saksi. Maka beliau n bertanya: “Apakah semua anakmu engkau memberi yang seperti itu?”

Dia menjawab,"”Tidak,” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Carilah saksi selain diriku, karena aku tidak mau menjadi saksi dalam keburukan. Bukankah akan bisa membahagiakanmu, apabila engkau memberikan sesuatu yang sama?”

Dia menjawab :”Ya,” maka kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :” Maka lakukanlah!”

Anehnya, ada sebagian orang tua, manakala dinasihati tentang tarbiyah anak, justru melakukan sanggahan. Orang tua ini mengatakan bahwa kebaikan ada di tangan Allah, atau hidayah terletak di tangan Allah. Memang benar hidayah berada di tangan Allah, sebagaiaman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. [al-Qashash/28:56].

Namun yang perlu diperhatikan, faktor yang menjadi penyebab adanya kebaikan dan hidayah, ialah karena peran orang tua. Apabila para orang tua telah berperan secara maksimal dan telah menunaikan kewajibannya dalam tarbiyah, maka hidayah berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sedangkan jika orang tua lalai dan mengabaikan tarbiyah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan balasan dengan kedurhakaan dan keburukan kepada anak. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi [HR Imam al-Bukhâri].

Disinilah kita harus memahami secara benar, betapa besar peran orang tua terhadap anak. Orang tua memiliki tanggung jawab membentuk keimanan dan karakter anak. Dari orang tua itulah akan terwujud sosok kepribadian seorang anak.

Akhirnya, marilah kita menjaga fitrah anak-anak kita. Yaitu fitrah di atas kebenaran dan kebaikan. Karena semua yang kita lakukan atas diri anak, akan diminta pertanggungjawabnya di hadapan Allah Azza wa Jalla .

Perhatian terhadap anak merupakan perkara yang teramat penting dan pertanggungjawaban yang besar di hadapan Allah. Oleh karena itu, para manusia terbaik, yaitu para nabi senantiasa mendoakan kebaikan untuk diri dan anak keturunan mereka.

Nabi Ibrahim Alaihissallam berdoa:

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. [ash-Shafât/37:100]

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau, dan (jadikanlah) di antara anak-cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [al-Baqarah/2:128]

Nabi Zakariya Alaihissallam berdoa:

قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

Di sanalah Zakariya mendoa kepada Rabbnya seraya berkata, "Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa". ['Ali 'Imran/3:38].

Begitu juga dengan para salaf pendahulu kita, mereka berdoa:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. [al-Furqân/25:74].

Demikianlah para nabi, meskipun memiliki kedudukan dan dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala , mereka tetap saja senantiasa berdoa penuh harap, memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar dianugerahi keturunan yang shalih dan shalihah, maka bagaimana dengan kita? Tentunya, kita tergerak dan lebih bersemangat melakukannya.

Oleh karena itu, marilah kita berdoa dan selalu berusaha memberikan pendidikan dan tarbiyah kepada anak-anak kita dengan berlandaskan din (agama) yang shahîh dan lurus.

(Diringkas oleh Ustadz Abu Ziyad Agus Santoso, dari al-Khutabul-Minbariyyah, Syaikh Shâlih bin Fauzan al-Fauzan, halaman 148-155)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


PENDIDIK IDEAL

Oleh
Al Maghriby bin As Sayyid Mahmud Al Maghriby


Wahai para pendidik, bila kita ingin berhasil dalam mendidik anak maka hendaknya pertama kita mendidik diri kita sendiri dengan komitmen terhadap ajaran Islam yang berkaitan dengan pendidikan dan sunnah nabi. Karena Beliau teladan terbaik dan utama bagi orang tua dan pendidik serta seluruh kaum muslimin.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

Sesunggunya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu(yaitu) bagi kamu yang mengharap(rahmat) Allah dan RasulNya dan (kedatangan) hari kiamat. [Al Ahzab : 21]

PEMAAF DAN MURAH HATI.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [Ali Imran : 134]

Allah berfirman.

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. [Al A’raaf : 199]

Allah berfirman.

فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ

Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik. [Al Hijr : 85]

Dari Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah bersabda kepada Abdul Qais.

إنَّ فِيْكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا الله: الْحِلْمُ وَاْلأنَاة.

Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua sifat yang dicintai Allah, Al Hilm (pemaaf) dan Anah (murah hati). [1]

Pemaaf dan murah hati merupakan sifat paling mulia yang harus dimiliki oleh setiap pendidik teladan karena sifat merupakan kebaikan di atas kebaikan. Dan kedua sifat itu sangat dicintai Ar Rahman. Oleh sebab itu seorang pendidik harus menjadi pemaaf dan murah hati apapun yang dilakukan oleh seorang anak. Maka hendaklah menjadi seorang pemaaf dan jangan memberi sanksi kepada anak dalam keadaan marah. Pergaulilah anakmu dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Terimalah apa adanya tidak menuntut yang paling ideal. Luruskan tingkah lakunya, perbaikilah dan didiklah dengan etika dan adab yang baik.

Pemaaf merupakan sifat yang mulia yang diberikan Allah kepada para rasul dan para nabi sebagaimana dalam firman-Nya.

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّاهٌ مُنِيبٌ

Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah. [Huud : 75]

Dan pemaaf merupakan sifat yang paling mulia karena Allah mensifati diri-Nya dalam firman-Nya.

وَاللهُ غَنِيٌّ حَلِيمُُ

Allah Maha Kaya dan Maha Penyantun. [Al Baqarah :263]

LEMAH LEMBUT DAN MENJAUHI DARI SIFAT KASAR DALAM BERMUAMALAH
Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لَا يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ

Sesungguhnya Allah Maha lemah lembut yang sangat cinta kelembutan dan memberi kepada sikap lemah lembut sesuatu yang tidak diberikan kepada sifat kasar.

Dari Aisyah bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إذاَ أرَادَ الله بأِهْلِ بَيْتٍ خَيْرًا أدْخَلَ عَلَيْهِمُ الرِّفْقَ

Jika Allah menghendaki suatu keluarga kebaikan maka Allah memasukkan kepada mereka sikap lemah lembut. [2]

Dari Ummul Mukminin Aisyah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

عَلَيْكُمْ بِالرِّفْقِ إنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إلاَّ زَانَهُ وَلَا يَنْزِعُ عَنْ شَيْءٍ إلاَّ شَانَهُ

Bersikaplah lemah lembut, sesungguhnya kelembutan tidak ada pada sesuatu kecuali akan membuatnya indah dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali membuatnya rusak.[3]

Dari Jarir bin Abdullah berkata aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ يُحْرَمْ الرِّفْقَ يُحْرَمْ الْخَيْرَ كُلَّهُ

Barangsiapa yang tidak diberi sifat kelembutan maka ia tidak memiliki kebaikan sama sekali.[4]

Dari Abu Hurairah berkata bahwa kami pernah shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Isya’ dan ketika Beliau sujud, Hasan dan Husain melompat ke atas punggungnya. Ketika Beliau bangkit dari sujud Beliau mengambil keduanya lalu diletakkan dengan pelan-pelan, dan bila Beliau sujud keduanya kembali naik ke punggungnya. Dan ketika Beliau shalat keduanya dipisah tempat sebagian di letakkan pada suatu tempat dan yang lain pada tempat yang lain, lalu aku datang kepada Beliau,” Wahai Rasulullah, boleh tidak aku membawa keduanya kepada ibunya?” Beliau bersabda,” Jangan”. Tapi ketika kilat bersinar maka Beliau bersabda,” Bawalah keduanya untuk menemui ibunya”. Maka keduanya berjalan di tengah terangnya sinar hingga masuk rumah.[5]

BERHATI PENYAYANG
Sifat penyanyang harus dimiliki oleh setiap pendidik yang menginginkan keberhasilan dalam mendidik anak

Imam Al Bazzar meriwayatkan dari Ibnu Ummar dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak menyanyangi orang yang tidak sayang kepada anaknya, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya tidak akan masuk surga kecuali orang penyanyang. Kami berkata: Wahai Rasulullah setiap kami menjadi orang penyanyang, Beliau bersabda: Seorang penyanyang bukanlah orang yang menyanyangi temannnya tapi menyanyangi semua umat manusia”. [6]

Dari Abu Umamah bahwa seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama dua orang anak lalu Beliau memberinya tiga butir kurma, maka wanita tersebut memberikan satu butir kurma kepada masing-masing anak, kemudian salah seorang di antara anaknya menangis lalu ia membelah satu kurma menjadi dua lalu masing-masing anak diberi separuh kurma, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَالِدَاتٌ حَامِلَاتٌ رَحِيْمَاتٌ بِأوْلاَدِهِنَّ لَوْ لاَ مَا يَصْنَعْنَ بأزْوَاجِهِنَّ دَخَلَ مُصَلَّياَتِهِنَّ الْجَنْةَ

Orang tua wanita yang hamil lagi penyanyang terhadap anak-anaknya, jika bukan karena kesalahan yang mereka perbuat terhadap suami mereka maka ia akan masuk surga bersama tempat shalatnya.[7]

Dari Ubadah bin Shamith bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يجل كَبِيْرَناَ وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفُ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati yang tua, tidak menyanyangi yang kecil dan tidak mengenal hak orang alim.[8]

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ شَرَفَ كَبِيْرِنَا

Bukan termasuk golonganku, orang yang tidak sayang kepada yang kecil dan tidak mengenal kedudukan orang yang besar. [9]

Dari Anas bin Malik bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُوْقِرْ كَبِيْرَنَا

Bukan termasuk golonganku, orang yang tidak sayang kepada yang kecil dan tidak menghormati orang yang besar. [10]

Dari Haritsah bin Wahb Al Khuza’i berkata bahwa saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

ألاَ أُخْبِرُكُمْ بِأهْلِ الْجَنَّةِ؟ كُلُّ ضَعِيْفٍ متضعف لَوْ أقْسَمَ عَلَى الله لَأبَرَّهُ ألاَ أُخْبِرُكُمْ بأهْلِ النَّارِ؟ كُلُّ عُتُلٍّ جوظ مُسْتَكْبِرٍ.

Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang penghuni surga? Setiap orang yang lemah lagi dianggap hina, bila ia bersumpah atas nama Allah maka Allah akan mengabulkannya. Maukah kalian aku kabarkan tentang penghuni neraka? Setiap orang yang congkak, dungu lagi sombong.[11]

KETAKWAAN
Allah berfirman.

يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya. [Ali Imran : 102]

Allah Azza wa Jalla berfirman.

فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. [At Taghaabun : 16]

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا {2} وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَيَحْتَسِبُ

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang iada disangka-sangka. [Ath Thalaaq : 2-3]

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yaang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. [An Nisa’: 9]

Takwa merupakan kekayaan hakiki yang harus dimiliki oleh setiap para pendidik untuk diwariskan kepada anak cucunya, diajarkan dan ditanamkan kepada mereka serta menjadi perhatian paling utama dan serius bagi seluruh orang tua. Hendaklah orang tua atau pendidik, jangan hanya bisa membuka rekening di berbagai bank, mengumpulkan beberapa bidang tanah dan membangun apartemen untuk diwariskan kepada anak cucunya, akan tetapi yang lebih mulia dari itu semua adalah ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan kepada kita tanggung jawab untuk memelihara anak-anak kita dari api neraka sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلآئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادُُ لاَّيَعْصُونَ اللهَ مَآأَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَايُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [At Tahrim : 6]

Ada beberapa perkakataan ulama berkenaan dengan tafsir ayat di atas. Ali Radhiyallahu 'anhu berkata,” Didiklah dan ajarilah anak-anak kalian”.

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata, ” Taatilah perintah Allah dan hindarkanlah diri kalian dari perbuatan maksiat serta perintahlah anak-anakmu untuk berdzikir kalian akan selamat dari neraka”.

Mujahid rahimahullah berkata, ”Bertakwalah kamu kepada Allah dan berwasiatlah kepada anakmu dan keluargamu agar bertakwa kepada Allah”.

Qatadah berkata,” Hendaklah engkau memerintahkan mereka berbuat ketaatan dan melarang dari perbuatan maksiat serta menegakkan agama. Hendaklah kamu menyuruh dan membantu mereka berbuat ketaatan dan engkau jauhkan mereka dari perbuatan maksiat”.

Dhahhak dan Muqatil berkata,”Setiap muslim wajib mendidik keluarga, kerabat, dan para pembantu serta pekerjanya agar melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya”.[12]

Rasulullah telah memerintahkan kepada kita agar melindungi putera-puteri kita dengan takwa kepada Allah dan silaturrahmi dengan kerabat dan famili.

Dari Nu’man bin Basyir bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

اِتَّقُوْا الله وَاعْدِلُوْا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ.

Bertakwalah kepada Allah dan bersikap adil kepada sesama anak-anak kalian.[13]

Dari Ibnu Asakir dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata.

اِتَّقُوْا الله وَصِلُوْا أَرْحاَمَكُمْ.

Bertakwalah kalian kepada Allah dan sambunglah silaturrahmi kepada kerabat kalian. [14]

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Berbuatlah baik kepada orang tua kalian maka anak-anak kalian akan berbuat baik kepada kalian, serta bersikaplah pemaaf maka isteri-isteri kalian akan menjadi pemaaf”.[15]

Barangsiapa yang tidak sayang terhadap dirinya maka sebagai orang hendaklah sayang kepada anak-anaknya, dengan berbuat baik kepada orang tua agar putera-puterinya diberi taufik Allah Subhanahu wa Ta'ala berbuat baik kepadanya sehingga mereka terjauh dari durhaka kepada kedua orang dan terhindar dari murka Allah Subhanahu wa Ta'ala.

LEMAH LEMBUT DALAM BERMUAMALAH DENGAN ANAK
Allah berfirman.

لاَتَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَامَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ وَلاَتَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِيَن

Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. [Al Hijr : 88]

Allah berfirman.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ

Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarhlah dengan mereka itu. [Ali Imran : 159]

Dari Abdullah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

ألاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يُحْرَمُ عَلَى النَّارِ أوْ بِمَنْ تُحْرَمُ عَلَيْهِ النَّارُ؟ تُحْرَمُ عَلَى قَرِيْبٍ هِيْنٍ لَيِّنٍ سَهْل.

Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang yang haram masuk neraka atau neraka diharamkan baginya? Setiap orang dekat, mudah, lemah lembut dan membuat semua urusan gampang.[16]

Dari Ummul Mukminin, Aisyah berkata,” Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam disuruh untuk memilih dua urusan pasti selalu memilih yang paling ringan di antara keduanya selagi tidak ada unsur dosa namun bila mengandung unsur dosa maka Beliau orang yang paling jauh darinya. Tidak pernah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam balas dendam untuk kepentingan diri sendiri kecuali bila aturan Allah dilecehkan maka Beliau membelanya karena Allah.[17]

Lemah lembut dan mempermudah masalah bukan berarti berlebihan dalam memanjakan anak sehingga hal itu akan menjadi faktor paling berbahaya dalam menghancurkan akhlak, jati diri dan kepribadian anak. Kebanyakan para pemuda yang rusak dan nakal yang tidak memiliki tujuan dan prinsip hidup, berasal dari sikap manja dan tidak serius dalam mendidik anak. Maka sikap manja yang berlebihan akan berakibat fatal pada masa depan anak dan menyengsarakan keluarga bahkan menyusahkan semua anggota masyarakat sehingga akan hidup dalam kehancuran, kesesatan dan dekadensi moral serta berada dalam kehidupan tanpa pegangan dan prinsip serta tujuan yang jelas.

Syaikh Muhammad Khidir Husain berkata,” Kebanyakan pengendali dan pengelola rumah tangga kurang faham terhadap pentingnya tarbiyah sehingga bersikap teledor dengan menuruti segala kemauan anak dan membiarkan anak menikmati kepuasan hidup sesuka hatinya. Bahkan orang tua terkadang menyanjung tindakan itu di hadapan orang lain. Orang tua berlebihan memberi komentar positif sementara tanpa berhitung akibat yang ditimbulkan. Sangat buruk usaha orang tua dalam membuat tipuan pada anak seandainya para orang tua mengetahui akibat buruknya. Tindakan itu hanya sebuah usaha perangkap bagi anak yang menjauhkan dari etika bagus dan merusak kebahagian anak dunia dan akhirat”.

Seorang pendidik hendaknya menyeimbangkan antara sikap lemah lembut dan sikap tegas. Setiap pendidik dalam muamalah dan interaksi dengan anak harus memadukan secara seimbang dan serasi antara sikap lemah lembut dan tegas dehingga setiap tindakan penuh dengan hikmah.

MENJAUH DARI SIKAP MARAH
Dari Abu Hurairah bahwa ada seorang yang berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,” Wahai Rasulullah berilah wasiat kepadaku” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا, قَالَ: لاَ تَغْضَبْ

Jangan engkau marah, Beliau mengulangi berkali-kali, Beliau bersabda:,”janganlah kamu marah”.

Dari Abu Darda’ Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ

Janganlah marah maka bagimu surga.

Dari Muadz bin Anas Radhiyallahu 'anhu bahwasannya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يَنْفَذَهُ دَعَاهُ الله سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى رُؤَسَاءِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيَّرَهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ.

Barangsiapa yang menahan dendam atau marah sementara ia mampu untuk melampiaskan maka Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk pada hari kiamat hingga disuruh memilih bidadari yang ia sukai.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَيْسَ الشَّدِيْدَ بِالصَّرَعَةِ, إنَّمَا الشَّدِيْدُ مَنْ يَمِلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.

Bukanlah orang yang kuat adalah orang yang pandai bertengkar akan tetapi orang kuat adalah orang yang mampu menahan diri ketika marah.

Diriwayatkan bahwa Zainal Abidin Ali bin Husain memiliki budak yang memecahkan kendi yang terbuat dari keramik. Lalu pecahan kendi mengenai kaki Zainal Abidin hingga luka, maka anak itu sontak berkata,”Allah berfirman,” Orang-orang yang menahan dendam dan amarah”. Zainal Abidin berkata,” Aku telah berusaha menahan dendam dan amarahku”. Lalu anak itu berkata,”Allah berfirman,” Dan memaafkan manusia”. Lalu Beliau menjawab,” Aku telah memaafkan”. Ia berkata,” Allah berfirman,” Dan sangat mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan”. Maka Zainal Abidin berkata,” Sekarang juga kamu menjadi orang yang merdeka karena Allah”.

Betapa indahnya sikap pemaaf dan menahan marah, betapa eloknya buah keduanya sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang seorang hakim ketika memutuskan masalah dalam keadaan marah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ يَقْضِيَنَّ حَاكِمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ

Janganlah seorang hakim memutuskan hukum di antara dua orang sementara dalam keadaan marah.

Pernah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberi sanksi kepada orang dengan pukulan, namun ketika hukuman hendak ditegakkan maka Beliau berkata,” Batalkan hukuman itu”, lalu Beliau ditanya sebabnya, maka Beliau menjawab,”Aku merasa sedang marah dan aku khawatir memutuskan hukuman dalam keadaan sedang marah”.

Abu Hasan berkata,” Begitulah seharusnya sikap pendidik agar mampu menghasilkan anak didik yang bagus dan handal maka tidak boleh seorang pendidik memberi sanksi kepada anak hanya karena ingin melampiaskan dendam dan amarah dalam dada. Dan bila hal itu terjadi berarti anda telah menjatuhkan hukuman kepada putera-puteri kaum muslimin untuk memuaskan hati belaka dan demikian itu jelas tidak adil”.

Ibnu Qayyim berkata,”Sumber kerusakan moral berasal dari empat hal; kebodohan, kedzaliman, syahwat dan kemarahan. Sebab marah akan menimbulkan sikap sombong, dengki, hasud, permusuhan dan kehinaan”.

BERSIKAP ADIL DAN TIDAK PILIH KASIH
Adil dalam mendidik anak merupakan pilar utama pendidikan dalam islam yang tidak boleh tidak. Karena langit dan bumi tegak hanya di atas keadilan. Hendaknya orang tua bersikap adil dan tidak mengutamakan satu dengan yang lainnya di antara putera-puterinya baik dalam masalah materi seperti pemberian, hadiah atau dalam masalah non materi seperti kasih sayang, perhatian dan kecintaan. Perasaan cinta secara adil antara anak akan menciptakan kehidupan saling tolong menolong serta perhatian kepada orang lain, sehingga anak akan tumbuh besar jauh dari sikap egoisme, ananiyah dan senang menyendiri serta merasa paling hebat di antara yang lain. Bahkan anak tubuh besar membaa kebiasaan gemar mengutamakan orang lain dan tidak suka menciptakan pertengkaran di antara teman-teman dan saudaranya hanya karena masalah sepele. Maka bersikap adil dan tidak pilih kasih merupakan akhlak mulia yang diperlukan dalam segala urusan.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu bahwa ada seorang laki-laki yang berada di depan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu puteranya datang kepadanya, kemudian ia menciumnya dan mendudukkan di samping kanannya, kemudian datang puterinya lalu ia dudukkan di hadapannya maka Rasulullah Shallallahu 'alaihin wa sallam bersabda,”Kenapa engkau tidak menyamakan antara keduanya?

Dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu bahwa bapaknya datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama anaknya lalu ia berkata,” Saya memberi anakku ini suatu pemberian”. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,” Apakah engkau memberikan kepada setiap anakmu seperti itu? Ia menjawab:,”Tidak”. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Minta kembali pemberian itu dan bertakwalah kepada Allah dan bersikaplah adil antara anakmu”.

Demi memenuhi panggilan di atas maka para pendidik harus bersikap adil di antara anak-anak dan tidak bersikap diskriminasi sesama anak baik dalam masalah sepele atau besar, karena sikap demikian akan mencipkan kebencian dalam dada dan menumbuhkan benih kedengkian dan kekecewaan serta menyebabkan sifat pengecut, takut, tidak percaya diri, putus asa dalam hidup dan suka menodai hak orang serta membangkang. Bahkan akan menimbulkan berbagai macam penyakit kejiwaan, perasaan rendah diri dan dekadendi moral dan keganjilan prilaku dalam hidup.

Allah yang Maha Tinggi dan Maha Mampu telah menyuruh kita semua agar bersikap adil dan mengharamkan sikap dzalim atas diri-Nya serta dijadikan hal itu haram di antara kita. Begitu juga Rasulullah mengajak kepada kita semua agar bersikap adil dan meninggalkan kedzaliman sebab kedzaliman akan mendatangkan kegelapan.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

كُلُّ سُلاَمَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلُّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ تَعْدِلُ بَيْنَ اثْنَيْنِ صَدَقَةٌ.

Setiap persendian dari tubuh manusia ada sodaqohnya. Dalam setiap hari selagi matahari terbit engkau bernuat adil diantara dua orang hal itu merepakan sedekah.

Dari Ubadah bin Shamith Radhiyallahu 'anhu berkata,” Kami berbaiat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk tetap setia dalam kesulitan dan kemudahan, dalam keadaan semangat dan kendor serta setia kepada pemimpin dalam keadaan dzalim kepada kita dan tidak mengambil kekuasaan orang lain dengan paksa serta hendaknya kami berbicara kebenaran apa adanya tidak takut terhadap celaan orang yang mencela”.

Dalam riwayat Nasa’i “Hendaknya kami bersikap adil di di mana saja kita berada.

Dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إنَّ الْمُقْسِطِيْنَ عِنْدَ الله عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُوْرٍ عَلَى يَمِيْنِ الرَّحْمَنْ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِيْنٌ الَّذِيْنَ يَعْدِلُوْنَ فِي حُكْمِهِمْ أَهْلَهُمْ وَمَا وَلَّوْا.

Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah akan berada di atas mimbar dari cahaya yang berasal dari sisi kanan Ar Rahman dan kedua tangan-Nya adalah kanan, orang-orang yang bersikap adil dalam memutuskan hukum dan kepada keluarganya.

Wahai pendidik, ketahuilah boleh jadi ada anak baik sementara tumbuh besar dari tengah-tengah kesesatan dan penyelewengan akhlak. Bahkan ada anak yang baik tumbuh dari keluarga yang tidak mengenal agama atau keluarga yang beragama sesat. Dan terkadang ada orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendidik anak ternyata mengalami kegagalan. Maka ketahuilah hidayah dan taufik hanya datang dari Allah sehingga tugas kita hanya berusaha dan ikhtiar dengan disertai sikap tawakkal kepada Allah karena Dialah yang menentukan semua hasil usaha.

Wahai saudaraku, berusahalah dengan sekuat tenaga untuk memberi contoh dan teladan baik bagi anak-anakmu karena tingkah laku merupakan cerminan hati maka hendaklah anak-anakmu selalu melihat kebaikan dari semua urusanmu sekecil apapun sebab mendidik para pendidik lebih utama karena itu sangat menentukan hasil usaha karena orang tidak mempunyai sesuatu tidak akan bisa memberi maka agar tidak tidak dicela oleh zaman, tempat dan kesulitan serta musuh maka hendaknya kita harus mendidik diri secara baik.

Seorang penyair berkata.

نَعِيْبُ زَمَانَنَا وَالْعَيْبُ فِيْنَا * وَمَا لِزَمَانِنَا عَيْبُ سِوَاناَ
وَنَهْجُوْ ذَا الزَّمَانِ بِغَيْرِ ذَنْبٍ * وَلَوْ نَطَقَ الزَّمَانُ لَنَا هَجَانَا

Kita sering mencela zaman dan keadaan padahal kesalahan ada pada kita sementara keadaan tidak mungkin menyimpan kesalahan kalau kita tidak melakukan kesalahan.

Kita mencaci maki keadaan tanpa suatu kesalahan padahal seandainnya keadaan bisa berbicara maka ia akan balik mencela kita.

Ketika umat Islam meninggalkan manhaj Islam dan sunnah Nabi maka mereka berada dalam kegelapan hidup, tidak sensitif terhadap kemungkaran, mengekor kepada budaya dan tradisi barat dan timur baik model pakaian dan model rambut maka di antara mereka ada yang memotong rambutnya mirip rambut anjing, armbut kucing dan berpakaian menyerupai perempuan serta kebiasaan menari, berjoget, menyanyi dan pamer keindahan tubuh dan aurat. Umat kita kehilangan jati diri dan kepribadian ditelan oleh sikap mengekor dan meniru orang-orang barat dan kafir sementara secara tak sadar kaum muslimin telah dijadikan musuh sebagai sasaran proyek penyesatan dan westernisasi karena prinsip pemikiran Yahudi adalah merusak generasi umat lain agar negara Yahudi raya berdiri tegak.

Wahai saudaraku, anjurkan kepada keluargamu agar tetap berpegang teguh dengan agama Allah dalam setiap keadaan dan ciptakan keluarga rabbani yang terdidik berdasarkan cahaya ilahi dan sunnah nabi Muhammad. Bermanhaj Islam, berdiri atas kalimat La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah, bermoto kami menyembah kepada Allah dan hanya meminta pertolongan kepada-Nya. Dengan demikian generasi bangsa akan baik dan agama Islam akan kokoh serta umat Islam akan jaya menjadi pengendali umat lain di atas muka bumi.

(Diangkat dari kitab bertajuk “Kaifa Turabbi Waladan Salihan” karya Al Akh Al Maghriby bin As Sayyid Mahmud Al Maghriby semoga Allah menjaganya) Ummu Rasyidah)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Riwayat muslim 17,18 dan dikeluarkan Abu Dawud 5225,
[2]. Riwayat Ahmad 6/71, 104) da tarikh Bukhari 1/412, Sya’bul Iman Oleh Baihaqi (6560, 7766) dari Aisyah
[3]. HR. Muslim 2594
[4]. HR. Muslim 2592
[5]. Riwayat Ahmad 2/513dan Thabrani di dalam Al Kabair2659, hakim di dalam Mustadrak 3/183 sanad shahih, Dzahabi berkata Shahih lihat Majmu’ Zawaid 9/181.
[6]. Riwayat Abu Ya’la 4258, Ishaq 401, Dha’if jami’1927 dan Adhaifah 3194.
[7]. Riwayat Ibnu Majah 2013 dan Hakim di dalam Mustadrak 3/173 Hakim berkata Sanad shahih atas syaradari Syaikhani dan ia tidak mengeluarkan
[8]. Hasan Riwayat Imam Ahmad (5/323) Ath Thabrani 8/167,232) Shahih Jami’2/5444
[9]. Shahih. Riwayat Abu Dawud 4943, Tirmidzi 1921, dikeluarkan Ahmad bin Hanbal 2/75, Shahih Jami’ 2/5444
[10]. Shahih :Riwayat Tirmidzi Shahih Jami’ 2/5445 Ash Shahihah 2190
[11]. HR. Bukhari 4918, 2071,2257 dan Muslim 2190, 2803
[12]. Tafsir Ibnu Katsir 4/502
[13]. HR. Bukhari 5/155, 157 dan Muslim 1623
[14]. Hasan: Ibnu Asakir (57/317), Di dalam silsilah Hadits Shahih 769, shahih Jami’ shaghir 107
[15]. Riwayat Thabrani di dalam Al Ausath 1002 dan Hakim (4/170-171) dikeluarkan abu Na’im di dalam Akhbara Asbahani 2/48 di dalam Adh Dha’ifah 5/62-64.
[16]. Riwayat Tirmidzi 2488, dia berkata Hadits Hasan, di dalam Ash Shahihah 938, Shahih Jami’ Shaghir 1/2609, Nahwa 2490.
[17]. Muttafaqun’alaih:Bukhari 6/419, 420 dan Muslim 2327.